Rabu, 14 Mei 2014

Daftar Alutsista Indonesia Terbaru 2014

Indonesia memang tengah giat untuk menambah alutsista yang puncaknya di tahun 2014 ini. Hal ini terkait rencana Kemenhan untuk memperkuat posisi militer Indonesia di kancah internasional, terutama Asia Tenggara (Baca "Menhan: Peta Kekuatan Militer Indonesia 2014 Terkuat se-Asia Tenggara").

Melansir dari Analisis, inilah daftar alutsista terbaru yang sudah dan akan dimiliki oleh TNI.


TNI AU
12 Pesawat coin Super Tucano (pesan 16 unit, 4 sudah datang)
16 Jet tempur Golden Eagle (sudah datang semuanya Jan 2014)
8 Jet tempur F16 setara blok 52 (jumlah pesanan 30 F16 upgrade)
5 Pesawat angkut sedang CN295 (pesan 9 unit, 5 sudah diterima thn 2013)
8 Pesawat angkut berat Hercules (pesan 9 unit, 1 sudah diterima thn 2013)
6 Helicopter Cougar
6 UAV Heron
4 Radar Thales
1 Simulator Sukhoi
TNI AL
37 Tank amfibi BMP3F (sudah datang dan diserahkan resmi Jan 2014)
25 Kendaraan amfibi LVTA1 dari Korsel (hibah batch 2)
5 Tank amfibi jenis BTR-4 (Pesanan sebanyak 55 unit)
10 MLRS RM Grad
11 Helikopter anti kapal selam Panther
4 Pesawat intai maritim CN235 MPA
4 Helicopter angkut Bell 412 Ep
3 Kapal perang light fregat “Bung Tomo Class”
3 Kapal perang jenis KCR (Kapal Cepat Rudal) 60 m
2 Kapal perang jenis KCR 40 m
3 Kapal perang jenis LST (Landing Ship Tank)
2 Kapal perang jenis BCM (Bantu Cair Minyak)
3 Kapal perang jenis patroli cepat
1 Kapal perang jenis latih layar
2 Kapal selam Kilo
2 Kapal hydrografi
TNI AD
103 MBT Leopard II
50 Tank Marder
38 Howitzer Digital Caesar Nexter
36 MLRS Astross II Mk6
900 Truk angkut pasukan
800 Rantis
80 Panser Anoa
5 Battery Rudal Starstreak
5 Battery Rudal Mistral
180 Rudal Anti Tank Javelin
150 Rudal Anti Tank Nlaw
20 Helikopter Bell 412Ep (6 sudah diserahkan)
16 Helikopter Fennec
6 Helikopter Mi17

Berikut yang dalam proses pembuatan dan dalam proses pengadaan.

Proses Pembuatan
3 kapal selam Changbogo di Korsel
2 kapal perang jenis PKR di Belanda (opsi sampai 10 unit)
8 Helicopter Apache
1 kapal latih layar buatan Spanyol (pengganti Dewaruci)
Proses Pengadaan
16 jet tempur Sukhoi SU35
6 kapal selam Kilo
12 Helikopter Blackhawk

Berikut MEF 2 (2015-2019)

Proses Pembuatan
Pengadaan satelit militer · Penerapan Kogabwilhan
Pemenuhan alutsista 3 Divisi Marinir
Pemenuhan alutsista 3 Divisi Kostrad
Pengadaan sistem jaringan pertahanan udara strategis
Pengadaan peluru kendali SAM jarak sedang
Pengadaan peluru kendali SAM jarak pendek
Pembelian 2-3 kapal perang jenis Destroyer
Pembelian 5-6 kapal perang jenis Fregat
Pengadaan 2 kapal perang jenis LPD atau LHD
Lanjutan Proyek PKR 10514 dengan 4 opsi kapal perang
Lanjutan Proyek KCR 60 m dengan opsi 6 kapal perang
Lanjutan Proyek KCR 40 m dengan opsi 6 kapal perang
Penyelesaian 3 kapal selam Changbogo
Kedatangan 6 kapal selam Kilo
Kedatangan 1 skuadron jet tempur Sukhoi SU35
Penambahan 1 skuadron jet tempur (Gripen, Rafale, Typhoon)
Produksi bersama peluru kendali anti kapal C705
Pengembangan varian peluru kendali C705
Pengembangan Roket Rhan jarak tembak 100 km
Pembelian 7 pesawat CN295 batch 2
Pembelian 3 pesawat AEW
Pembelian 2 pesawai intai strategis
Pembelian 200 MBT (Main Battle Tank)
Produksi 100 Tank medium Pindad
Pembelian MLRS Astross batch 2
Pembelian 100 Panser Anoa Canon
Pembelian 100 Tank amfibi BMP3F

Selasa, 13 Mei 2014

Pesawat Mata-mata AS Melintas, Bandara Langsung Kacau

Rabu pekan lalu, ratusan penerbangan di Bandara Internasional Los Angeles, Amerika Serikat, terpaksa dibatalkan dan puluhan penerbangan tertunda. Belakangan diketahui, insiden itu disebabkan oleh melintasnya pesawat mata-mata U-2 yang mengganggu sistem komputer.

Diberitakan Reuters, Senin 5 Mei 2014, Badan Penerbangan Federal AS (FAA) mengatakan, pesawat U-2 di udara California membuat komputer bandara tidak mampu memprediksi alur terbang pesawat yang telah digunakan AS sejak tahun 1955. Akibatnya, komputer di pusat kendali lalu lintas udara bandara Los Angeles mengalami masalah.


Peristiwa ini berujung pada pembatalan atau penundaan penerbangan lebih dari 200 penerbangan di bandara tersebut. Puluhan penerbangan di bandara-bandara kecil di California--maupun yang hendak menuju negara bagian itu-- juga terpaksa dibatalkan.

Juru bicara FAA Lynn Lunsford mengatakan bahwa pada 30 April 2014 itu sistem lalu lintas udara kesulitan saat hendak memproses jalur penerbangan U-2. Komputer bandara menganggap pesawat ini adalah jenis yang biasa terbang di ketinggian rendah. Padahal, pesawat buatan Lockheed Martin ini adalah jenis altitude tinggi.

Komputer dan petugas bandara kebingungan bagaimana caranya agar jalur penerbangan U-2 tidak bentrok dengan pesawat lain. Akhirnya, ratusan jadwal penerbangan terpaksa ditunda.

Semenjak itu, bandara Los Angeles menerapkan sistem baru yang membedakan ketinggian pesawat berdasarkan jenisnya. "FAA menyelesaikan masalah ini dalam satu jam, dan langsung menyesuaikan sistem yang sekarang menambahkan informasi ketinggian di setiap penerbangan," kata Lynn.
Pesawat yang dijuluki "Naga Betina" ini bisa terbang di ketinggian 21.000 meter di atas permukaan laut. Karena altitude tinggi inilah, pilot U-2 harus mengenakan pakaian astronot yang bertekanan tinggi.

U-2 adalah pesawat bermesin tunggal yang telah digunakan sejak era Perang Dingin untuk memata-matai Uni Soviet, Tiongkok, Vietnam Utara dan Kuba. Pesawat ini masih digunakan di angkatan udara AS, menjadikannya salah satu pesawat yang telah dioperasikan lebih dari 50 tahun.

U-2 juga pernah dilibatkan dalam perang di Afganistan dan Irak serta mendukung beberapa operasi NATO. Saat ini, peran mata-mata U-2 sudah bisa digantikan oleh pesawat nirawak canggih seperti Northrop Grumman RQ-4 Global Hawk. (ita)

Menengok Lebih Dekat Pabrik Bom Terbesar se-ASEAN di Subang

Subang -Siapa sangka Indonesia punya fasilitas pengembangan dan produksi bahan peledak modern dan terbesar di Asia Tenggara atau ASEAN. Fasilitas tersebut dimiliki oleh PT Dahana (Persero).

Perusahaan pelat merah yang telah berdiri sejak tahun 1966 ini mampu mengembangkan dan memproduksi bahan peledak untuk keperluan militer dan industri non militer di dalam dan luar negeri.

Pabrik milik Dahana tersebar di seluruh negeri namun pusat produki bahan peledak tingkat tinggi (high explosive) berada di area pabrik energetic material center, Kantor Manajemen Pusat (Kampus) di Desa Sadawarna, Kecematan Cibogo, Kabupaten Subang, Jawa Barat.


detikFinance pun memperoleh kesempatan istimewa berkunjung dan wawancara khusus Chief Executive Officer (CEO) Dahana, Harry Sampurno di area energetic material center milik Dahana di Subang. 

Untuk menjangkau lokasi, harus menempuh perjalanan darat selama 3,5 jam dari Jakarta. Setelah keluar gerbang tol Cikampek arah Sadang, mobil harus bertarung dengan buruknya kualitas jalan selama 1 jam hingga memasuki bibir pabrik.

Ketika tiba di lokasi, tampak gedung megah dengan arsitektur ramah lingkungan (green) menyambut kedatangan. Lokasinya cukup jauh dari pemukiman penduduk. Pabrik dan Kampus Dahana diapit oleh 2 buah sungai serta dikelilingi pohon yang menjulang tinggi. 

Saat memasuki area perkantoran, sistem pengamanan terasa cukup longgar. Kantor pusat dan pabrik milik BUMN bom tersebut menempati lahan seluas 600 

The Regional Implications of Indonesia's Rise



Despite a mild economic slowdown amidst China’s economic rebalancing and the U.S. Federal Reserve tapering—and despite a dip in Indonesian shares following a surprisingly weak performance by the favorites in Wednesday’s parliamentary election—the general direction of Indonesia’s economy seems clear: onwards and upwards. Since the Asian Financial Crisis and the fall of Suharto, Jakarta has learned lessons, expedited political reforms, and taken economic strides that today constitute a platform from which Southeast Asia’s largest country can continue to build on what it has achieved to date. That’s not to say corruption, infrastructure deficiencies and inequality do not remain problems for whoever takes the political baton after President Susilo Bambang Yudhoyono, but Indonesia’s economic trajectory is bending sharply in the right direction. 

Since the turn of the century, Indonesia’s economy has been one of the world’s best-performing and most consistent. Since 2001, the country has averaged 5.4 percent growth, far faster than the global average, despite the shocks of the global financial downturn. That growth has facilitated the fall of gross government debt from 95.1 percent of GDP in 2000 to around 26 percent today, the lowest of any ASEAN member-state except Brunei Darussalam, and enough for Fitch and Moody’s to grant Indonesia’s debt investment grade status. Indonesia has gone from being the world’s 27th largest economy in 2000 (nominal GDP) to the 16th largest today—an impressive leap in just fifteen years.

Much more is expected to come. Indonesia is forecast to have the world’s seventh largest economy by 2030, surpassing the U.K. and Germany according to a report by McKinsey Global Institute, and the fourth largest in 2040 according to a Citibank report, trailing only China, India and the United States. While such projections are often over-reliant on extrapolating current trends, there is little doubt that Indonesia stands to benefit immensely from a rebalancing of the global economy towards the Asia-Pacific and from the demographic dividend of the country’s young population. The former will ensure relatively high ubiquity of capital, technology and demand in Indonesian markets, while the latter will ensure that the workforce will be able to maintain productivity and a low dependency ratio between workers and dependents, thereby setting the foundation for decades of robust growth and healthy public finances.

The regional implications of this economic rise will be very significant, even if gradual.

A bigger and more robust economy means that defense spending will continue to rise, albeit from an extremely low base. Indonesia currently spends less than 1 percent of its GDP on defense, at around $8 billion annually. In comparison, Singapore has a military budget of $12 billion, more than 4 percent of its GDP, while Australia spends $26 billion. By any measure, Indonesia lags well behind its neighbors relative to its size; however, its rapid economic growth has facilitated sharp annual defense budget increases, such as the 9 percent increase announced in August 2013. This much-needed growth comes as Indonesia attempts to increase defense spending to 1.5 percent of GDP by 2015, or a projected $14 billion, as sought by Yudyohono. While this target will not be met by next year, it at least recognizes Indonesia’s military potential and sets a spending benchmark.

Much of this defense budget growth, particularly a $15 billion kit announced in 2010, will be allocated to equipment procurement and modernization. The country’s 2010 Strategic Defence Plan outlined a modernization vision that included 10 jet fighter squadrons, 274 ships and a dozen submarines by 2024—a significant qualitative and quantitative leap from Indonesia’s current military capabilities, even if the targets do not seem entirely realistic. Nonetheless, recent purchases are congruent with the vision, such as the purchase of six Sukhoi Su-30MK2s that were delivered last September and which completed a squadron of advanced air-superiority fighters consisting of sixteen Su-27 SKM and Su-30 MK2 jets. Similar major procurements and orders have included dozens of F-16 and Su-35 fighters, advanced air defense systems from Thales, Boeing AH-64 Apache Longbow gunship helicopters and more than hundred world-renowned German Leopard tanks.

As it bolsters its military, Indonesia’s weight and importance in the region’s balance of power will only grow, particularly with respect to the U.S. and China. As Washington and Beijing seem set for an era of strategic rivalry across the Asia-Pacific, bringing Jakarta into one or the other’s sphere of influence becomes ever more appealing. For the U.S., greater security and economic cooperation with Indonesia, at the relative expense of China, helps strengthen and coalesce a grouping of states—which includes Japan, the Philippines and India—that is wary of China’s rise and territorial claims. China’s recent claim to the Natuna waters that are part of Indonesia’s Riau Islands could convince some Indonesian policymakers to lean towards Washington and hedge against Chinese assertiveness in the South China Sea. On the other hand, the seeming inevitability of China’s rise to great-power status, amidst the uncertainty of the viability and extent of America’s Asia “pivot” and security guarantees, constitutes a good case for Indonesia to move closer to Beijing and leverage China’s unprecedented economic force and growing military heft.

However, the most likely strategic disposition, to use former Vice President Mohammad Hatta’s expression from 1948, remains having a “free and active” Indonesian foreign policy. As opposed to relatively passive non-alignment during the Cold War, Indonesia—on the back of rapid economic growth and growing power—is increasingly likely to see itself as entitled to a prominent role in the region and the world in its own right, and in light of its own interests and potential. Jakarta is therefore likely to seek prosperity and cooperation equally with both the U.S. and China, as opposed to creating any form of dependency on one power in the face of the other. Moreover, Indonesia might be uniquely positioned in trying to arrest any escalation in the region or prevent the entrenchment of a paradigm of strategic rivalry that could harm its own interests and development priorities.

This independent streak is likely to take Indonesian foreign policy beyond the Asia-Pacific. As recent engagement with the Middle East shows, Indonesia increasingly sees itself as an important actor in the Muslim World. In late January, the country signed a defense cooperation agreement with Saudi Arabia—Jakarta’s first such agreement with an Arab state—which covered military industry cooperation, counter-terrorism and joint training. In 2012, Indonesia also co-sponsored UN General Assembly Resolution 67/19 on the statehood of Palestine, with foreign minister Marty Natalegawa delivering a strong speech in defense of the Palestinians’ choices and policies regarding Israel. This seems to be a natural extension of a more confident Indonesia more willing to articulate its population’s solidarity with Middle Eastern causes.

As for Australia, Indonesia’s economic rise will shift the power dynamic and importance of the bilateral relationship. Indonesian GDP, on the basis of purchasing power parity, overtook Australia’s in 2004 and is today thirty percent bigger, and that gap will only expand as Indonesia outgrows Australia by a ratio of 2 to 1, with the IMF predicting 6 percent growth for Indonesia to the end of this decade compared with around 3 percent for Australia. This will not only enhance Indonesia’s economic primacy over Australia and entrench Prime Minister Tony Abbott’s maxim of “less Geneva and more Jakarta,” it will also shift the balance of power within the relationship. Australia’s dominance and transactional approach to the relationship will have to give way to a more balanced and strategic one, as Canberra comes to terms with the fact that a burgeoning Asian power of more than 250 million people cradles Australia’s northern borders.

Indonesia’s economic rise will therefore pave the way for significant geopolitical change. The country’s economic growth engine is of such vigor relative to the rest of the world—perhaps surpassed only by China amongst the world’s twenty largest economies—that a military and strategic dividend for Jakarta is inevitable. Projected timeframes and Indonesian goals will shift with movements in the domestic and regional landscape, but the fact remains Indonesia will have more clout in the future than it’s ever had before.

Kapal Selam PT.PAL Dan Pesawat Tempur PT.DI

Changbogo - IFX
Changbogo/PT.PAL – IFX/PT.DI


Berita mainstream media mengenai kapal selam dan pesawat tempur:

Jakarta - Kementerian Pertahanan menilai, untuk membangun kekuatan minimum, TNI AL membutuhkan minimal 12 kapal selam. Saat ini TNI AL telah memesan 3 kapal selam Changbogo, termasuk kerja sama Transfer of Technology (ToT) bersama Daewoo Shipbuilding Marine Enginerering (DSME) dengan PT PAL Indonesia.
Dalam kerja sama tersebut, 2 kapal selam dengan model DSME 209 itu akan dikerjakan di Korea Selatan dan yang terakhir dikerjakan di Indonesia. Kemenhan yakin tim yang diberangkatkan untuk berlajar di Korea Selatan akan berhasil menerapkannya di Tanah Air.

Kepala Badan Sarana dan Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kabaranahan Kemhan) Laksamana Muda Rachmad Lubis berharap perekonomian di Indonesia semakin membaik. Diharapkan tahun 2029, kebutuhan minimum kekuatan bisa terpenuhi.
“Tahap pertama kita coba adakan 3 unit sekitar US$ 1,08 miliar, waktunya tak kurang ketiganya butuh 7 tahun. Kita harapkan di akhir 2024-2029 kalau ekonomi terus membaik. Diharapkan 12 kapal selam dipenuhi,” ucap Rachmad usai mengikuti rapat Rencana Induk Pemenuhan Alpalhankam di Gedung Kementerian Pertahanan, Jakarta, Rabu (02/04/2014).
Selain itu, tambah Rachmad, melihat wilayah laut Indonesia yang 50 persen mempunyai kedalam rata-rata di bawah 100 meter, Indonesia juga memerlukan kapal selam kecil (midget). Untuk memenuhi kapal selam kecil, tim dari BPPT dan Dislitbang TNI AL telah mengembangkannya
sejak 2007 silam.
“Midget itu kapal selam mini memang perlu. Tapi perairan kita konturnya macam-macam. Kalau laut dalam butuh besar, sedang ya sedang, kalau dangkal ya butuh midget,” imbuh jenderal bintang dua ini.
Ada dua tipe yang dikembangkan yaitu midget dengan panjang berbobot 133 ton dengan panjang 22 meter dan panjang 15 meter. Pengembangan masih dilakukan di LaboratoriumHidrodinamik di Surabaya, Jawa Timur, melalui program riset insentif nasional (Insinas).
“Itu tetap kita jaga pengembangan desain tapi belum masuk produksi (massal), baru desain,” kata Rachmad.
(Muhammad Ali) –  (Liputan6.com)

RI Siap Produksi Jet Tempur Pesaing F18, Harga Lebih Murah

F-18 milik AS (Foto: Reuters)
Jakarta - Industri strategis nasional bersama Kementerian Pertahanan sedang mengembangkan pesawat tempur tipe KFX/IFX. Dalam pengembangan dan produksi pesawat tempur ini Indonesia menggandeng Kementerian Pertahanan Korea Selatan.
KFX/IFX sendiri merupakan varian jet tempur generasi 4,5. Pesaing pesawat ini adalah F18 buatan Amerika Serikat dan Dessault Rafale buatan Prancis. Produksi tipe IFX di dalam negeri menghemat pengeluaran anggaran karena harga jual lebih murah.
“Harga jauh lebih murah. Kedua ini target kita produsen juga. Hitungannya jauh lebih murah daripada beli. Yang paling utama. Pajak pembelian, pajak keuntungan, pajak lain-lain balik ke Indonesia yakni sebanyak 30% karena dibeli di dalam negeri,” kata Kepala Bidang Perencanaan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) Said Didu di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Rabu (2/4/2014).
Said menjelaskan pengembangan pesawat tempur karya putra-putri Indonesia terus berjalan meskipun terjadi pergantian pemerintahan atau presiden.
“Kemarin Korea sudah putuskan ini akan dilanjutkan. Meski terhenti 2 tahun. Itu sudah jalan. Kemarin dia pilih seri 4,5,” sebutnya.
Pesawat untuk varian Indonesia yakni IFX akan diproduksi di markas PT Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung, Jawa Barat. Di tempat yang sama, Direktur Teknologi dan Pengembangan PTDI, Andi Alisyahbana menjelaskan jet tempur KFX mulai diproduksi secara massal pada tahun 2020.
Saat ini tenaga ahli PTDI sedang mempersiapkan rancangan esawat tempur generasi 4,5 tersebut.
“Diproduksi baru masuk tahun 2020. Persiapan banyak kita lakukan. Rancangan bangun dikembangkannya KFX/IFX. Kita rancang sesuai dengan kebutuhan TNI,” kata Andi. –(finance.detik.com)

KRI Pasopati 410

KRI Pasopati (410) merupakan sebuah kapal selam TNI-AL buatan Rusia. KRI Pasopati sudah dinonaktifkan dan menjadi monumen di Kota Surabaya.
Data spesifikasi KRI Pasopati 410:
Panjang: 76,6 meter
Lebar: 6,3 meter
Kecepatan: 18,3 knot ketika di permukaan (13.5 knot ketika menyelam)
Berat penuh: 1.300 ton
Berat kosong: 1.050 ton
Jarak jelajah: 8.500 batu laut
Bahan bakar: Solar

Bateri: 224 buah
Senjata: Torpedo steam 12 buah
Panjang torpedo: 7 meter
Peluncur torpedo: 6
Awak kapal: 63 orang